ASAL MULA PENCIPTAAN PEREMPUAN
A.
PENDAHULUAN
Secara definitif para ahli tafsir pada
umumnya menyebut al-Qur’an sebagai: “ Kalamullah (kata-kata Allah) yang
diturunkan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, yang disampaikan kepada
kita melalui rangkaian yang terpercaya (mutawwatir), tertulis
dalam mushaf. Membacanya dinilai sebagai ibadah (berpahala). Adalah keyakinan
kaum muslimin bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, kitab suci dan sumber paling
utama dan otoritatif bagi aktifitas kehidupan sehari-hari. Didalamnya
terkandung seluruh aspek yang dibutuhkan bagi kehidupan kaum muslimin yang akan
mengantarkannya pada kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Al-Qur’an sendiri menyatakan diri sebagai kitab yang menjelaskan segala hal
(tibyan li kulli syai’).
Ayat-ayat berkenaan dengan penciptaan
seluruh aspek kehidupan pun dibahas dalam al-Qur’an. Dalam makalah ini kami
menitik beratkan pada ayat-ayat perihal penciptaan perempuan. Ayat-ayat yang
berbicara mengenai penciptaan perempuan menyebar dalam sejumlah surah
al-Qur’an. Antara lain an-Nisa (4):1, al-A’raf (7): 189, Al-Hujurat
(49): 13, al-Mumtahanah (60):10, al-Ahzab (33): 58, al-Buruj (85): 10 dan
Muhammad (47): 19, al-Zumar (39): 6.
Makalah
ini membahas beberapa ayat tentang penciptaan perempuan dikhususkan QS.
Al-Nisa (4):1, QS. Al-A’raf (7): 189 dan QS. Al-Zumar (39):6 beserta tafsiran
para mufassir mengenai ayat – ayat diatas.
B.
PEMBAHASAN
1.
Ayat dan Terjemahnya
QS.
Al-Nisa (4) : 1
Terjemah: “Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.”
QS.
Al-A’raf (7) : 189
Terjemah: Dialah yang menciptakan kamu
dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa
senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan
yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala
Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya
seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh,
tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".
QS.
Al-Zumar (39) : 6
Terjemah: Dia menciptakan kamu dari
seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan
untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan
kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan, yang
(berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan.
tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?
2. Penafsiran Para Mufassir
QS.
Al-Nisa (4) : 1
a. Tafsir
Al-Mawadih Al-Muyassar
Adam dan hawa diciptakan dari asal
yang satu. Hawa dicitakan dari salah satu tulang rusuk Adam as. Ayat ini
menunjukkan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan yang hidup dari sesuatu yang
hidup, sebagaimana mampu menciptakan yang hidup dari sesuatu yang mati, yakni
ketika diciptakannya Adam dari tanah.
b. Tafsir
Al-Misbah
Dalam ayat terdapat kalimat ( ) min
nafsin wahidah, mayoritas ulama memahaminya dalam arti Adam as. Dan ada
juga yang memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Syekh
Muhammad Abduh, al-Qasimi, dan beberapa ulama kontemporer a (lainnya
memahaminya demikian, sehingga ayat ini sama dengan firman-Nya dalam QS.
Al-Hujurat (49) :
Memahami nafsin wahidah sebagai
Adam as. Menjadikan kata () zaujaha, yang secara harfiah bermakna pasangannya,
adalah isteri Adam as. Yang popular bernama Hawa. Pengertian inilah yang
memberikan pemahaman kepada para mufassir bahwa isteri Adam diciptakan dari
Adam sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap
perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki.
Banyak penafsir menyatakan bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk
Adam sebelah kiri yang bengkok. Pandangan ini diperkuat dengan hadis Rasul yang
menyatakan: “saling wasiat mewasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita. Karena
mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, kalau engkau
membiarkannya dia tetap bengkok, dan bila engkau berupaya meluruskannya dia
akan patah” (HR. At-Tirmidzi melalui Abu Hurairah).
Thabathaba’i dalam tafsirnya menulis
bahwa QS. Al-Nisa (4) : 1 menegaskan bahwa perempuan (isteri Adam as.)
diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikitpun tidak
mendukung paham yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
Adam. Memang tidak ada petunjuk dari al-Qur’an yang mengarah kesana, atau
bahkan mengarah kepada penciptaan pasangan Adam dari unsur yang lain.
Ide kelahiran Hawa dari tulang rusuk
Adam, menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, timul dari apa yang termaktub dlam
Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa, “ketika Adam tidur
lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula
tempat itu dengan daging. Maka dari ulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu,
dibuat Tuhan seorang perempuan”.
Tulis Rasyid Ridha: “seandainya tidak
tercantum kih kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di
atas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim”.
Lelaki lahir dari pasangan pria dan
wanita, begitu juga wanita. Karena iu, tidak ada perbedaan dari segi
kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan
kelembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus lebih kuat dari kain, dan
kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan berfungsi,
dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta pakaian
yang indah, serasi dan nyaman.
Penegasan-Nya bahwa () khalaqa
minha zaujaha/ Allah menciptakan darinya, yakni dari nafsin wahidah itu
pasangannya; mengandung makna bahwa pasangan suami isteri hendaknya
menyatu sehingga menjadi diri yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan
pikirannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam
menarik dan dalam menghembuskan nafasnya.
Al-‘Araf
(7) : 189
a. Tafsir
Ibnu Abbas
Huwal ladzi khalaqalakum min nafsiw
wahidatin ditafsirkan oleh Ibnu Abbas bahwa diri
yang satu itu adalah Adam as. Wa ja’ala minha zaujaha dan dari diri Adam
Allah swt menciptakan isteri Adam yakni Hawa.
Bila dilanjutkan penafsiran Ibnu Abbas
hingga ujung ayat ini, liyaskuna ilaiha disebutkan pula tujuan
penciptaan Hawa agar Adam merasa senang.
b. Tafsir
Al misbah
Dalam QS. Al-Nisa (4) : 1 telah
dijelaskan makna kata nafsin wahidah, singkatnya, kata ini member kesan
bahwa pasangan suami hendaknya menyatu menjadi satu jiwa, arah dan tujuan
sehingga mereka benar-benar sehidup dan “semati” bersama. Karena, jiwa suami
adalah juga jiwa isterinya.
Dalam tafsir ini kata () liyaskuna
ilaiha/ agar ia merasa tenang kepadanya walaupun dari segi redaksional
bermakna agar suami merasa tenang dan cenderung hatinya kepada isterinya, pada
hakikatnya sebaliknya pun demikian, yakni agar isteri tenang dan cenderung
hatinya kepada suaminya.
Kata () sakana adalah ketenangan
yang didahului oleh kegelisahan. Ia terambil dari kata yang berarti ‘memotong’
karena ketenangan tersebut memotong dan mengakhiri kegelisahan. Dari sini
lahir kata () sikkin yang berarti pisau.
Dalam sebuah hadits disebutkan
Rasulullah SAW bersabda: “Diantara kebahagiaan anak Adam ada tiga, dan
kesengsaraannya juga ada tiga. Di antara kebahagiaan anak Adam adalah wanita
yang shalihah, rumah yang baik, dan kendaraan yang baik. Di antara kesengaraan
anak Adam adalah wanita yang jahat, rumah yang buruk, dan kendaraan yang buruk.[2]
Kebahagiaan adalah mata air bagi
keceriaan dan ketenangan. Wanita yang membahagiakan bagi pasangan hidupnya
karena keberadaannya disamping suaminya, adalah sumber ketenangan dan
kebahagiaan.
Kata () taghasysyaha/mencampurinya
dari segi bahasa terambil dari kata () gasyia yang berarti menutup. Kata ini
dipilih untuk melukiskan hubungan suci, sekaligus untuk menggambarkan bahwa
hubungan itu hendaknya tertutup.
Al-Zumar
(39) : 6
a. Tafsir Al-Mawadih Al-Muyassar
Allah menciptakan seluruh manusia
dengan kuasa-Nya. Kata min nafsin wahidah diartikan Oleh As-Shobuni dengan kata
Adam.
b. Tafsir
al-Mawardi
Senada dengan imam Ali As-Shobuni
dalam tafsir al-mawadhih al-Muyassar, al-Mawardi menyatakan bahwa makna nafsin
wahidah adalah adam. Sehingga hal ini berarti bahwa Hawa diciptakan dari Adam
oleh Allah swt. Lebih jelas, al-Mawardi menyatakan bahwa penciptaan Hawa trbagi
kedalam dua pendapat yang berbeda. Pertama, Hawa diciptakan dari tulang
rusuk Adam yang paling bawah. Kedua,Hawa diciptakan dari bahan yang sama
dengan Adam as.
c. Tafsir
Al-Misbah
Setelah menegaskan penciptaan-Nya
terhadap makhluk-makhluk tak bernyawa, kini disebutkan ciptaan-Nya menyangkut
makhluk hidup dengan menguraikan penciptaan manusia yang diajak oleh ayat-ayat
yang lalu untuk mengesakan Allah dan memurnikan kepatuhan kepada-Nya.
Ayat di atas menggunakan kata () khalaqa
ketika berbicara tentang penciptaan nafs dan menggunakan kata () ja’ala
ketika menjelaskan tentang kejadian pasangan. Setelah memperhatikan penggunaan
al-Qur’an terhadap kedua kata tersebut, penulis memperoleh kesan bahwa kata () khalaqa
biasa digunakan untuk menekankan kehebatan Allah dalam ciptaan-Nya. Dalam
konteks ayat ini adalah penciptaan nafs. Sedang kata () ja’ala digunakan
untuk menekankan mamfaat yang diperoleh dan harus ditarik manusia dari
dijadikannya sesuatu itu. Dalam konteks di atas adalah pasangan manusia.
C. KESIMPULAN
Melalui pendekatan kontektual oleh
beberapa penafsir di atas, dapat disimpulkan bahwa, mayoritas mufassir
menyatakan penciptaan perempuan, khususnya Hawa, ialah dari Adam, dengan
menafsirkan kata nafsin wahidah sebagai Adam as. Namun adapula yang berpendapat
bahwa nafsin wahidah diartikan bahwa Hawa diciptakan dari sesuatu yang semisal
dengan penciptaan Adam. Lebih jauh Sayyid Quttub menyatakan bahwa jika saja
manusia memperhatikan dirinya, dia akan menemukan bahwa manusia memiliki tabiat
yang sama, ciri-ciri yang sama yang membedakannya dngan makhluk-makhluk lain
dan dia menemukan juga bahwa semua individu dari jenis manusia terhimpun dalam
kesatuan ciri-ciri itu. Karena itu jiwa seorang manusia adalah satu dalam
ratusan juta manusia yang tersebar di ersada bumi ini dan yang dicakup oleh
semua generasi di seluruh tempat dan waktu. Pasangannya pun demikian. Perempuan
bertemu dengan lelaki dalam ciri-ciri kemanusiaan yang umum, kendati terdapat
perbedaan-perbedaan dalam perincian ciri-ciri itu. Ini semua mengisyaratkan
kesatuan manusia- lelaki dan perempuan, dan mengisyaratkan pula kesatuan
kehendak Pencipta jiwa yang satu itu dalam kejadian kedua jenis kelamin
manusia, begitulah keterangan Sayyid Quttub untuk kata nafsin wahidah.
Di luar pendekatan kontekstual di atas
pendekatan lain juga bisa digunakan. Misalnya dengan menganalisis makna
kebahasaan. Dalam pendekatan ini dinyatakan bahwa pemaknaan atas sebuah teks
bahasa tidaklah selalu tunggal. Makna teks bahasa juga mengalami perkembangan.
Dalam banyak pandangan kata ar-Rijâl diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
dengan laki-laki tanpa memberikan penjelasan apakah ia berarti laki-laki dalam
konotasi biologis atau gender. Analisis bahasa menunjukkan bahwa ia pada
umumnya berarti laki-laki dalam konotasi gender. Untuk perempuan bermakna
gender
disebut dengan kata an-Nisa. Kata laki-laki dalam makna biologis disebutkan
oleh al-Qur’ân dengan kata adz-dzakar. Kata ini dalam berbagai bentuknya
disebutkan al-Qur’ân sebanyak 18 kali dan lebih banyak digunakan untuk
menyatakan laki-laki sebagai makhluk biologis. Sementara untuk biologis
perempuan disebut al-untsâ.
Kata lain dalam al-Qur’ân yang
menunjukkan perempuan disebut al-mar’ah atau alimra’ah. Menurut Ibnu Anbari
kata al-mar’ah atau al-imra’ah mempunyai arti yang sama yaitu perempuan secara
gender, tetapi biasanya digunakan untuk yang sudah dewasa atau matang. Dr.
Nasaruddin Umar dalam bukunya “Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif
Al-Qur’ân”, berkesimpulan bahwa: “kata ar-Rajul tidak identic dengan kata
adzdzakar. Semua kata ar-rajul termasuk katagori adz-dzakar tetapi tidak semua
adz-dzakar termasuk katagori ar-rajul. Demikian pula kata al-mar’ah/al-imra’ah
atau an-nisâ tidak identik dengan kata al-untsâ. Semua kata
al-mar’ah/al-imra’ah atau an-nisâ termasuak katagori al-untsa tetapi tidak
semua al-untsa termasuk katagori al-mar’ah/al-imra’ah atau An-Nisâ. Seorang
laki-laki disebut ar-rajul atau perempuan disebut al-mar’ah/al imra’ah atau
nisa manakala memenuhi kriteria-kriteria sosial dan budaya tertentu seperti
berumur dewasa, telah berumahtangga atau telah mempunyai peran tertentu di
masyarakat dan seterusnya.